
SUKABOGOR.com – Di tengah tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan dan keamanan pangan, Kota Bogor mendapati kendala serius terkait kepatuhan terhadap standar kebersihan dan higiene. Dari 55 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tersedia di wilayah ini, hanya empat di antaranya yang telah memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS), sebuah kondisi yang mengundang perhatian dan kritikan dari berbagai pihak, termasuk DPRD Kota Bogor. Anggota DPRD Kota Bogor dari fraksi PKS, Dedi Mulyono, menyoroti rendahnya kepatuhan SPPG terhadap standar keamanan pangan sebagai tanda peringatan yang tak boleh diabaikan.
Urgensi Sertifikat Laik Higiene Sanitasi
Dalam konteks kebijakan kesehatan masyarakat, pentingnya Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) tidak mampu diremehkan. Sertifikat ini berfungsi sebagai agunan bahwa suatu layanan penyedia pangan telah memenuhi standar kebersihan dan keamanan yang diperlukan. “Kehadiran dan kepatuhan terhadap standar ini sangat krusial demi melindungi kesehatan masyarakat dari risiko terkait kebersihan pangan,” ujar Dedi Mulyono. Mengingat Kota Bogor adalah salah satu pusat kegiatan ekonomi dan pariwisata, memastikan setiap SPPG memiliki SLHS menjadi prioritas agar dapat memberikan pelayanan prima sekaligus menjaga kesehatan masyarakat.
Di sisi lain, rendahnya angka kepatuhan ini juga mencerminkan tantangan dalam pengawasan dan penegakan regulasi di lapangan. Ada gap yang cukup akbar antara kebijakan tertulis dan implementasi konkret di lapangan, sehingga diperlukan langkah-langkah strategis untuk membangun kesadaran dan kepatuhan para penyedia layanan pangan terhadap standar higiene dan sanitasi. Dedi Mulyono juga menekankan perlunya peningkatan kolaborasi antara pemerintah, legislatif, serta penyedia jasa untuk mencapai kondisi yang ideal dalam hal kesehatan dan kebersihan layanan.
Peluang dan Tantangan dalam Implementasi SLHS
Menaikkan jumlah SPPG yang mengantongi Sertifikat Laik Higiene Sanitasi sebenarnya adalah kesempatan untuk menunjukkan komitmen Kota Bogor dalam memajukan kesehatan publik. Dedi Mulyono menegaskan bahwa eksis kebutuhan mendesak buat mempercepat proses sertifikasi dan memastikan setiap SPPG memahami serta bisa menerapkan prinsip-prinsip higiene sanitasi dalam operasionalnya. “Ini bukan cuma tentang menjalankan regulasi, namun juga tentang mengedukasi dan memberdayakan para pelaku usaha agar mereka melihat nilai tambah dari memiliki SLHS,” tambahnya.
Meskipun demikian, tantangan dalam membudayakan kepatuhan terhadap SLHS tidaklah sedikit. Para pelaku upaya di sektor gizi perlu didukung dengan informasi yang cukup dan sumber energi yang memadai untuk melakukan perubahan signifikan dalam praktik operasional mereka. Tak jarang, keterbatasan pengetahuan dan sumber energi menjadi penghalang nyata dalam implementasi standar higiene sanitasi. Oleh karena itu, selain menuntut kepatuhan, ada kebutuhan buat menyediakan pelatihan dan pendampingan kepada seluruh SPPG agar mereka siap memenuhi persyaratan sertifikasi.
DPRD Kota Bogor, dengan perannya sebagai pengawas, diharapkan dapat memfasilitasi dialog antara pemerintah dan pelaku usaha untuk memastikan setiap pihak mempunyai pemahaman yang sama mengenai urgensi SLHS. Cara ini tak hanya akan meningkatkan kepatuhan, namun juga menciptakan budaya yang lebih sadar kesehatan di kalangan masyarakat.
Secara keseluruhan, percepatan pengeluaran Sertifikat Laik Higiene Sanitasi bagi SPPG di Kota Bogor adalah langkah krusial. Meskipun menantang, dengan dukungan seluruh pihak, Kota Bogor dapat menjadi panutan dalam pengelolaan layanan gizi yang higienis. Pada akhirnya, ini akan membawa efek positif dalam mewujudkan masyarakat yang sehat dan sejahtera, sejalan dengan visi Kota Bogor sebagai kota yang maju dan berdaya saing tinggi.




