
SUKABOGOR.com – Aceh Tamiang kembali menjadi saksi bisu pelaksanaan sanksi cambuk terhadap 10 terpidana kasus judi online pada Kamis (26/10). Eksekusi ini dilakukan di halaman Kantor Kejaksaan Negeri Aceh Tamiang, dengan jumlah cambukan bervariasi bagi setiap terpidana. Hukuman ini merupakan porsi dari penyelenggaraan syariat Islam di provinsi tersebut. Kasus judi online yang melibatkan para terpidana ini menjadi perhatian publik karena menunjukkan masih maraknya aktivitas judi yang dilakukan secara daring.
Penyelenggaraan Hukuman Cambuk
Para terpidana terdiri dari sembilan laki-laki dan satu wanita, yang semuanya divonis bersalah atas pelanggaran Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Eksekusi cambuk dilakukan oleh algojo yang sudah terlatih, dengan jumlah cambukan berbeda-beda sinkron dengan berat ringannya pelanggaran yang dilakukan oleh tiap individu. Buat kasus kali ini, ada yang mendapatkan hukuman cambuk sebanyak 8 kali, dan ada yang mencapai 32 kali. “Hukuman ini diharapkan mampu memberikan dampak jera kepada pelaku dan juga kepada masyarakat agar tidak melakukan tindakan serupa,” jelas Kejari Aceh Tamiang.
Proses eksekusi diawasi oleh sejumlah pihak berwenang termasuk petugas kesehatan untuk memastikan keselamatan terpidana selama penyelenggaraan hukuman. Meskipun menuai pro dan kontra, penyelenggaraan hukuman cambuk masih dilakukan sebagai upaya menegakkan hukum syariat yang diamanatkan oleh qanun di Aceh, satu-satunya provinsi yang menerapkan hukum syariah di Indonesia secara formal. Tidak sedikit masyarakat yang hadir buat menyaksikan eksekusi tersebut, menjadi saksi sekaligus peringatan agar tak terjerumus ke dalam perbuatan melanggar hukum yang sama.
Polemik Sanksi Cambuk
Di tengah penyelenggaraan hukuman cambuk, tetap banyak suara dari berbagai pihak yang mempertanyakan efektivitas dan humanisme dari hukuman ini. Sebagian masyarakat dan organisasi hak asasi orang menilai bahwa hukuman cambuk merupakan wujud sanksi fisik yang bengis dan tidak sesuai dengan semangat perlindungan hak asasi orang. Ada pula yang menganggap bahwa pendekatan ini kontraproduktif buat mencegah kejahatan di tengah masyarakat.
Tetapi, Pemerintah Aceh dan pendukung penerapan syariat Islam memiliki pandangan berbeda. Mereka berpendapat bahwa sanksi cambuk ini penting untuk menegakkan disiplin dan nilai-nilai moral di masyarakat, serta sebagai alat pencegah yang tegas terhadap berbagai pelanggaran syariat. “Aceh memiliki kekhususan dalam pengaturan hukum yang diakui oleh pemerintah pusat, dan ini merupakan bentuk otonomi yang harus dihormati,” ungkap seorang tokoh agama setempat.
Debat mengenai sanksi cambuk masih akan lanjut berlanjut seiring dengan perkembangan sosial dan hukum di Indonesia. Fana itu, pelaksanaan hukuman ini menandakan bahwa Aceh berkomitmen untuk terus menjalankan ketentuan dalam qanun dan menerapkan hukum yang berlandaskan syariat Islam. Para pelaku berharap cara ini dapat membawa dampak positif bagi keseluruhan masyarakat Aceh, meskipun tantangan di depan masih banyak bagus dari sisi internal maupun eksternal.




